TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan menyoroti pembelian ribuan kaveling tanpa sertifikat senilai Rp 732 miliar dalam kasus Asabri. Cerita dimulai pada 8 September 2015, ketika Benny Tjokrosaputro, pemilik Hanson International, menyurati Direktur Utama Asabri saat itu, Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia Purnawirawan Adam Damiri. Surat ini berisi tawaran kepemilikan 18 persen saham PT Harvest Time, yang dimiliki anak usaha Hanson yang lain, yaitu PT Wiracipta Senasatria, senilai Rp 1,2 triliun.
Damiri setuju dan meneken nota kesepahaman pembelian pada 4 November 2015. "Sepanjang November 2015 dan Januari 2016, Asabri menyetor Rp 802 miliar sebagai uang muka," seperti yang ditulis dalam Majalah Tempo edisi 18 Januari 2020.
Masalah muncul karena Wiracipta tidak pernah memiliki 18 persen saham Harvest yang diklaim Benny. Wiracipta hanya mengempit 13 persen, itu pun telah dijual ke PT BW Plantation. Manajemen Asabri mengaku baru mengetahuinya setelah ada pemeriksaan BPK. Saat pemeriksaan, direksi Asabri mengaku pembelian saham tanpa melalui proses uji tuntas dan studi kelayakan.
Setelah kena semprit BPK, Asabri di bawah direktur utama yang baru, Letnan Jenderal Purnawirawan Sonny Widjaja, pada 3 Juni 2016, menyurati Wiracipta agar persekot sebesar Rp 802 miliar itu dikembalikan.
Asabri juga menambahkan kewajiban bunga berjalan sebesar 7 persen per tahun, jauh di bawah bunga pinjaman bank komersial, terhitung sejak 14 Januari 2016 selama tigatahun. Ditambah bunga, kewajiban Wiracipta menjadi Rp 832 miliar.